-->
HOME |

Sabtu, 12 Maret 2011

Prinsip Halal dan haram dalam islam

assalamualaikum wr.wb
Pada postingan pertama saya kali ini akan menyajikan tentang halal dan haram dalam islam. Tetapi sebelumnya saya akan mengenalkan Prinsip-Prinsiip Islam Tentang Hukum Halal Dan Haram.
  1. Pada dasarnya, segala sesuatu boleh hukumnya
  2. Penghalalan dan penngharaman hanyalah wewenang Allah swt.
  3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu termasuk perilaku syirik kepada Allah swt
  4. Sesuatu diharamkan karena ia buruk dan berbahaya
  5. Pada sesuatu yang halal terdapat sesuatu dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram.
  6. Sesuatu yang mengantarkan kepada haram maka haram pula hukumnya.
  7. Menyiasati yang haram, haram hukumnya.
  8. Niat baik tidak menghapuskan hukum haram.
  9. Hati-hati terhadap syubhat agar tidak jatuh kedalam yang haram.
  10. Yang haram adalah haram untuk semua.
  11. Darurat mengakibatkan yang terlarang menjadi boleh
Disini saya hanya akan menjelaskan yang no 1 saja. Untuk no selanjutnya insya ALLOH akan saya lanjutkan pada postingan berikutnya.
1. Pada dasarnya segala
sesuatu hukumnya mubah. Prinsip pertama yang ditetapkan Islam: pada asalnya, segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatannya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik syariat (Allah swt) yang mengharamkannya. Jika tidak ada nash shahih-seperti beberapa hadist  dha'if atau tidak ada nash sharih yang menunjukan keharamannya, maka sesuatu itu dikembalikan kepada hukum asalnya : halal
Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asalnya boleh, merujuk kepada beberapa ayat Al-Quran. Misalnya,“Dialah yang telah menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi.”(Al-Baqarah:29)
Juga firman-Nya:
“(Allah) telah menundukan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi, (sebagai rahmat) darinya.” (Al-Jatsiyah: 13)
Juga firman-Nya,
“Tidakkah kalian melihat bahwa Allah telah menundukan untuk kalian apa-apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya, lahir maupun batin.”(Luqman: 20)
      Allah swt. Tidak menciptakan makhluk ini, lalu menundukan dan menjadikannya kenikmatan untuk umat manusia, kemudian menghalanginya untuk dinikmati dengan mengharamkannya. Bagaimana mungkin Allah telah menciptakannya, lalu menundukan untuk manusia, setelah itu mengharamkannya untuk dinikmati? Kalau kemudian Allah swt. Ternyata mengharamkannya sebagian, itu karena ada suatu hikmah tertentu.
      Dari sinilah maka wilayah keharaman dalam syariat Islam sesungguhnya sangatlah sempit. Sebaliknya, wilayah kehalalan dalam syariat Islam sangatlah luas. Itu karena, nash – baik yang shahih maupun sharih,-yang datang dengan pengharaman sedikit sekali jumlahnya. Selain itu, sesuatu yang tidak ada nash yang mengharamkan atau menghalalkannya, ia kembali pada hukum asalnya, yaitu boleh.
      Tentang ini, sebuah hadist nash menyebutkan,: “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, ia halal, dan apa yang Allah haramkan,ia haram. Sedangkan hal-hal yang didiamkan-Nya, ia dimaafkan. Terimalah pemaafan dari Allah, karena Allah sesungguhnya tidak lupa terhadap suatu apapun. (Beliau membaca sebuah ayat) ‘tidaklah Tuhanmu lupa akan sesuatu.’ (Maryam: 64).”
      Dari Salman Al-Farisi bahwa Rasullah saw. Ditanya tentang minyak samin, keju, dan jubah dari kulit binatang, lalu beliau menjawab
      “Yang halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya, dan yang haram adalah segala sesuatu yang Allah haramkan dalam Kitab-Nya. Sedangkan apa yang didiamkan-Nya maka ia termasuk yang termasuk yang dimaafkan kepada kalian.”
        Rasullulah saw. tidak menjawab pertanyaan dengan detail, namun memberi kepada mereka kaidah-kaidah dasar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memahami mana yang halal dan mana yang haram. Cukuplah mereka mengetahui yang Allah swt. haramkan, maka selain itu berarti halal dan baik.
      Ingin saya tegaskan pula disini bahwa prinsip pembolehan tidak hanya terbatas pada benda, namun juga termasuk pekerjaan dan berbagai sikap yang bukan termasuk kategori ibadah. Inilah yang sering disebut “tradisi atau pergaulan”. Hukum asal untuk hal ini juga pembolehan, atau tidak ada pembatasan kecuali yang terang-terangan telah dilarang Allah swt.
      Allah swt berfirman, “Dia telah merinci kepada kalian apa-apa yang diharamkan untuk kalian.” (Al-An’am: 119)
      Sesuatu yang di diamkan oleh wahyu itu tidak dilarang. Manusia boleh melakukannya kecuali dilarang oleh nash dalil. Ini bagian dari kelengkapan fikih sahabat ra. dengan inilah kita mengukuhkan kaidah: Sekian dari saya semoga bermanfaat untuk anda.
ASSALAMUALAIKUM WRWB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar